Cerita Seorang Lulusan Pesantren..



Hampir sepuluh tahun yang lalu, saya pernah mengikuti suatu majelis ta’lim di dekat rumah. Majelis Ta’lim ini agak unik, karena yang memberikan tausyiah adalah seluruh anggota majelis, bergantian setiap pekan. Materi tausyiah tidak ditentukan alias diserahkan kepada pemberi materi. Usai disampaikan kami semua mendiskusikan isi materi tadi.

Suatu hari, datanglah seorang pemuda lulusan pesantren modern Gontor. Pemuda tadi kebetulan sedang menginap di rumah salah seorang anggota majelis. Dengan hormat, kami mempersilakan beliau untuk menyampaikan tausyiah.

Sampai sekarang, saya masih teringat esensi-esensi ceramah beliau. Beliau menuturkan, kehidupan di pesantren sungguh nikmat, selama kita mampu menempatkan diri dengan tepat. Tantangan sesungguhnya adalah ketika para santri telah terjun ke dunia nyata.

Jika di pesantren ia mampu menghadirkan kekhusyuan setiap kali sholat malam, maka di luar pesantren hal itu sulit dilakukan. Jangankan untuk khusyu, untuk dapat bangun menegakkan sholat malam saja sudah luar biasa berat.

Jika di pesantren kegiatan menuntut ilmu dapat dilaksanakan secara rutin, hal itu lebih karena mengikuti jadual. Tantangan sesungguhnya adalah ketika di luar tembok, apakah seorang santri masih mampu terus secara rutin menimba ilmu?

Banyak hal lain yang disampaikan pemuda lulusan pesantren tersebut. Namun sepotong penuturan di ataslah yang terekam dengan baik di ingatan saya.

Pembaca yang baik. Penuturan pemuda yang resah tadi, betapapun, merupakan indikasi suatu kebaikan. Ia mampu memelihara kegelisahan, untuk dapat menjaga ketajaman rasa dan kepekaan nuraninya. Setidaknya, ia akan selalu menyadari jika sesuatu yang berharga hilang dari hidupnya.

Saya pribadi sering mendapatkan pertanyaan, dan sering menanyakan kepada diri sendiri, bagaimanakah cara yang efektif agar dapat menjaga stabilitas keimanan dan keteraturan beribadah. Pertanyaan itu sendiri sudah menunjukkan kepedulian si penanya terhadap kualitas dirinya di mata Allah, dan sungguh patut dihargai. Karena, kenyataannya, banyak orang lain yang sudah tidak peduli apakah dirinya sudah baik di mata Allah ataukah belum.

Kebanyakan kita masih sangat dipengaruhi lingkungan. Jika lingkungannya baik, kita pun ikut baik. Namun jika lingkungannya rusak, kita boleh jadi ikut tercemar.

Di lingkungan yang obrolannya terjaga, kita pun ikut menjaga kata-kata. Namun jika lingkungan asyik bergosip, mengumbar kata-kata tak berarti, kita juga ikut larut. Pada saat mengikuti sholat malam berjamaah, kita bisa terbawa menitikkan air mata, karena mayoritas jamaah terisak-isak menangis mendengarkan lantunan ayat-ayat suci AlQuran. Namun di rumah, yang anggota keluarganya malas menegakkan sholat malam, kita juga ikut malas sholat malam.

Di lingkungan yang materialistis, yang mengukur sukses dan bahagia hanya berdasarkan prestasi bendawi, kita pun ikut menjadi obsesif terhadap benda-benda. Keresahan kita bukan diukur dari jauh dekatnya kita dengan Allah, namun dari seberapa banyak benda-benda duniawi yang kita kumpulkan.

Menyadari besarnya pengaruh lingkungan terhadap diri kita, Rasul Saw mengingatkan untuk berhati-hati dalam memilih teman. Pesan ini, jika diterjemahkan lebih luas lagi, mengisyaratkan perlunya kita berhati-hati memilih lingkungan pergaulan. Agaknya pesan Rasul ini berlaku untuk kebanyakan manusia.

Pada kenyataannya, terkadang kita seolah tidak memiliki kesempatan untuk memilih. Misalnya, tak mungkin seorang santri memilih seumur hidup berada di pesantren, dan tidak turun gunung mengamalkan ilmunya. Pada situasi ini, seseorang harus memiliki kemampuan untuk menguatkan diri dari pengaruh lingkungan.

Lebih dari sekedar tidak terpengaruh, bahkan setiap muslim sebenarnya dituntut untuk mampu mempengaruhi lingkungannya agar sesuai dengan nilai-nilai syar’i. Inilah yang disebut berda’wah.

Namun da’wah tidaklah harus diterapkan secara formal, di mimbar-mimbar atau dengan ceramah. Sebagai contoh, bila Anda ingin seseorang tidak bergunjing dan menjelek-jelekkan keburukan orang lain, mungkin Anda tidak perlu berceramah panjang lebar tentang larangan berghibah. Tetapi Anda cukup menanggapi sekilas sambil perlahan-lahan mengalihkan pembicaraan tanpa disadari oleh lawan bicara Anda. Sehingga lawan bicara Anda itu tidak sempat lagi berghibah di depan Anda, sebaliknya dengan kemampuan Anda dia malah sibuk membicarakan hal lain yang bermanfaat tanpa disadarinya.

Di sini peranan Anda adalah bagaimana mengalihkan pembicaraan dengan cantik dan manis tanpa ada rasa tersingung dari lawan bicara Anda.

Inilah seninya dakwah dan amar makruf nahi mungkar. Terkadang untuk menghentikan kemungkaran, tidak dibutuhkan bahasa verbal atau taushiyah formal. Cukup dengan surut ke belakang dan tidak melakukannya, seseorang seringkali bisa mencegah kemungkaran dengan efektif dan efisien.

Bagaimanakah membangun kesadaran diri?

Saya kira, kita dapat belajar dari sistem kerja jasmani kita. Tatkala lapar, kita makan. Merasa kotor, kita mandi membersihkan diri. Jasmani senantiasa sensitif jika ada sesuatu yang ‘salah’.

Sensitifitas seperti itulah yang perlu kita bangun pada rohani kita. Kita perlu lebih sering mendengar sinyal dari ruhani, karena sesungguhnya ia selalu berkomunikasi dengan kita, setiap kali ada sesuatu yang salah.

sabruljamil.multiply.com

pakcu: gaimana pula mutoba'ah seharian n tasykil kita??"tepuk hati, tanya iman"


sempena memperingati peristiwa isra' & mikraj^^lestari selamanya di lubuk sanubari

ada CINTA bila mengingatimu...
bagai cahya menusuk di kalbu..
ada RINDU berselawat selalu..
nanti syafaat di suatu waktu...