ANA RINDU DENGAN ZAMAN ITU……( Surat terbuka untuk ustadz Rahmat Abdullah yang dimuliakan Allah)

Ikhwah budiman, surat ini ditulis seorang kader dakwah sebelum wafatnya guru dakwah Ustadz Rahmat Abdullah rahimullah. Dwi Fahrial, penulis surat ini, menggali keindahan memori dakwah yang ada dalam benak dan pikirannya pada masa2 yang telah lewat. Tentang kegigihan para kader dalam mempertahankan prinsip yang mereka yakini kebenarannya. Tentang sejumlah keprihatinan yang ditemukan penulisnya pada fase dakwah sekarang. Maka, surat ini pun diberi judul oleh penulisnya, “Ana rindu dengan zaman itu…”Aq sengaja mengetik dan menyuguhkannya pada blogku kali ini. Pada saat aq membacanya di majalah da’watuna, gagal mata ini menahan linangan air mata. Karena mungkin, aqlah salah satu dari mereka yang penulis khawatirkan dan dirindukan untuk kembali. Walaupun, “zaman” itu belumlah pernah aq rasakan. Tapi…aq ingin sekali mencoba merasakan nikmatnya mengisi hari2 seperti ikhwah pada “zaman” itu…Bagaimana dengan kalian ikhwah fillah…?



Ustadz yang dikasihi Allah…Sudah lama ana ingin menulis surat seperti ini, untuk sekedar silaturahmi dan melepas rasa rindu karena lama tak bertemu. Awalnya ana sempat khawatir karena tidak semua orang suka dengan surat sebagai media silaturahmi. Mungkin karena keterbatasan bahasa tulis untuk mengekspresikan makna sebuah nasihat, usulan atau kritikan. Atau kadang2 suasana hati yang sedang tidak mood ketika membacanya. Akibatnya nasihat bisa dianggap muslihat, usulan seolah ingin menjatuhkan dan kritik dirasa sangat sarkastik. Akhirnya surat yang dimaksud sebagai media silaturahmi, nasihat, kritik, maupun saran itu malah berubah menjadi masalah.

Namun rasa rindu ana akhirnya mengalahkan kekhawatiran itu. Kerinduan untuk bersua, meski hanya dalam lembar2 surat ini. Semoga Ustadz bersedia membaca oretan ini dan maafkan jika ada pilihan kata yang tak berkenan.

Ustadz yang dirahmati Allah…Sesungguhnya kerinduan ana yang lebih dahsyat lagi adalah kerinduan menikmati masa2 indah saat pertama kali mengenal dakwah bersama Ustadz. Saat ketika halaqah menjadi kebutuhan, bukan sambilan atau tempat mampir sepulang dari kantoran. Saat ketika membina adalah kewajiban bukan paksaan atau beban yang memberatkan. Anapun rindu ketika dauroh menjadi kebiasaan bukan sekedar program yang dipaksakan.

Rasanya nikmat sekali ketika hampir setiap pekan pergi kepuncak untuk mengisi dauroh. Meski ongkos ngepas dan peta yang tak jelas. Kadang kuyup pula kehujanan atau nyasar dikegelapan. Ana juga rindu saat pintu rumah diketuk ditengah malam untuk berkumpul esok paginya. Atau pergi jaulah keluar kota untuk ta’lim silaturahmi atau sekedar menjadi muajih pengganti. Begitu juga kerinduan saat merasakan kenikmatan hadir di liqo, bertemu dengan ikhwah dan memberi makanan hati dan nurani.

Ustadz…terus terang, banyak hal2 mengasyikkan yang telah hilang dari dakwah ini, dan dari diri ana tepatnya.

Ustadz yang disayangi Allah…Satu saat dipesta walimahan seorang ikhwah belum lama ini, ana ngobrol2 dengan beberapa ikhwah yang lain. Ternyata kami merasakan hal yang sama, bahwa sudah lama kami tidak menghadiri lagi walimahan yang benar2 dipisah antara tamu ikhwan dan akhowatnya seperti “zaman” itu. Kami merasakan adanya pergeseran sikap dikalangan ikhwah. Padahal, pada “zaman” itu, para akhowat berani kabur saat walimahannya hanya karena harus duduk bersanding berdua didepan para tamu. Ada juga yang pura2 pingsan, sakit perut, kejang kaki, dan entah apa lagi yang dilakukan. Mereka hanya ingin menolak ikhtilat sebisa mereka mampu. Hebat sekali mereka. Tapi kini, ikhtilat seakan menjadi biasa saja. Jangankan pesta walimahannya, proses pernikahannya pun ada yang rada2 aneh. Ada yang ngetek jauh2 hari, ada yang memberi kriteria tapi sangat spesifik, ada yang uraian kriterianya sampai dua lembar, bahkan ada yang mengawalinya dengan proses ta’aruf sendiri. Baik telpon2an, SMS, atau bahkan bertemu langsung. Berdua, hanya berdua. Sesuatu yang sangat tidak mungkin terjadi pada “zaman” itu. Jangankan berduaan, berpapasan dijalan saja saling menjauh dan bertamu hanya dari balik pintu. Kadang lucu juga kalau ingat masa itu.

Ustadz…Ana semakin rindu pada “zaman” itu. Ketika tsiqoh pada murobi membuat kami merasa aman untuk saling terbuka. Tsiqoh membuat hubungan kami merasa nyaman dan mengasyikkan. Dengan tsiqohlah kami merajut tali ukhuwah dengan tsiqoh pula kami mempercayakan proses pernikahan kami. Seingat ana, rata2 kami memang hanya mengandalakan ketsiqohan pada murobi dalam urusan memilih pasangan. Karena kami tahu betul, bahwa murobi tidak memutuskan sendiri. Ada banyak mata dan telinga lain bersamanya. Dan yang terpenting, kami memahami bahwa murobi adalah perpanjangan tangan jama’ah dalam kedudukannya itu. Itulah modal besar kami dalam berdakwah dimarhalah dakwah keluarga.

Ustadz yang diberkahi Allah…Ana membaca beberapa tulisan Ust. Mahfudz Sidik di majalah SAKSI tentang kekeruhan hubungan ikhwan-akhowat yang kader hingga bikin ana melongo. Temuan kaderisasi DPP tentang masalah ini semakin membuat ana nggak mengerti, apa yang sesungguhnya tengah terjadi dengan penghuni rumah besar tarbiyah ini. Masalah datang bertubi-tubi tak henti2. Menggoyang pilar2 bangunan, membuat dinding bergetar dan atapnya berderak-derak.

Bukan saja menimpa para kader muda yang gadis dan bujangnya, tapi juga menimpa para suami, para istri, para murobi bahkan para asatidznya juga. Dari mulai anak2 ustadz yang mulai ABG tapi belum juga ngaji (halaqoh), aktitivis kampus yang dilanda virus merah jambu, juga para suami yang bermasalah dengan istri2nya karena trend ta’adud, kekerasan keluarga, PIL/WIL, hingga perceraian. Ada juga yang bermasalah di liqo, rekrutmen yang lemah, pembinaan payah, sampai ada kader inti yang tidak punya binaan bahkan ada yang berbulan2 tidak hadir di liqonya. Entahlah ia menganggap liqo sebagai apa. Masalah lainnya adalah kecemburuan sebagian kader pada ikhwah kita yang menjadi aleg. Kecemburuan yang menjadi hasad, bergeser menjadi ghibah, su-udzon, iri bahkan ujungnya jadi ambisi.Ana ingat salah satu nasihat ustadz tentang hal itu, ”…Memangnya kita tidak senang melihat kesenangan saudara kita. Yang tadinya tidak punya motor sekarang punya, yang tadinya menjadi kontraktor kini punya rumah sendiri…” Ana merasa nasihat itu mampu meredam sebagian sas-sus di kalangan ikhwah. Itulah pentingnya nasihat dan teladan dari seorang guru dan murobi seperti Ustadz. Adem rasanya.

Meski memang tidak dipungkiri, ada juga beberapa aleg yang agak berlebihan dalam mengekspresikan “syukurnya” dihadapan ikhwah yang lain. Bahkan ada pula yang memang jelas2 bermasalah.

Ustadz yang dirahmati Allah…Ada yang bilang masalah2 itu datang sebagai konsekwensi logis dari pilihan kita sendiri. Pilihan kita ketika memasuki mihwar dakwah kelembagaan (parlemen) setelah sebelumnya berada di mihwar tandzimi dan sya’bi. “…Hiruk pikuk politik sedemikian keras menggema hingga memekakkan telinga, membutakan mata dan mematikan rasa…” Kata sebagian mereka.

Ana tidak sepakat dengan ungkapan itu, tapi menurut ana tidak juga semuanya harus ditolak.

Alhamdulillah, sebuah kebaikan dari pilihan kita itu sudah mulai kita rasakan. Cukup banyak untuk disebutkan. Satu kemenangan luar biasa dalam dunia dakwah kita. Anugerah Allah yang seharusnya disyukuri dengan sedalam-dalam keikhlasan. Meski tentu saja tanpa menutup-nutupi beberapa masalah yang timbul bersamanya. Keterbukaan tandzim, agak terabaikannya pembinaan, melemahkan maknawiyah kader dan membengkaknya pembiayaan dakwah, adalah diantara masalah2 itu. Namun ana yakin, kita tidak akan berhenti apalagi mundur karena masalah itu. Seperti Musa yang terjepit di tepi laut Merah dan kejaran tentara Fir’aun. Ana masih ingat taujih Ustadz ketika menggambarkan situasi itu dan kaitannya dengan kondisi da’I dalam menghadapi ujian. Ketakutan, kecemasan, kesempitan, siksaan dan pembunuhan menjadi selesai dengan kalimat “Inna ma’iya Robbi sayahdin…”(Sesungguhnya aku selalu bersama Rabb-ku yang akan memberiku petunjuk) Rahasianya adalah hubungan kita dengan Allah maka situasi apapun yang dihadapi ketika bersama Allah, maka akan selalu mendapat kebaikan, meski nyawa sebagai taruhannya.

Ustadz yang diberkahi Allah…Ana masih sepakat jika ada yang mengatakan bahwa ustadz adalah simbol dakwah ini, bukan karena kultus individu, tapi lebih karena peran dan posisi ustadz dulu dan kini. Apalagi kini sebagai aleg, semakin banyak kader mengharap. Melihat contoh teladan ustadz sebagai aleg parlemen. Sampai ada yang bilang, “Kalau Ustadz Rahmat juga bermasalah di parlemen, siapa lagi yang akan kita lihat teladannya…”

Memang, ana rindu betul melihat murobi kembali jadi teladan. Teladan dalam kesigapan taat, dalam kesiapan menerima kritik, dalam kehadiran, dalam semangat tatsqif, dalam kebugaran fisik, dalam hafalan, dalam banyak bacaan, dalam amalan sunah, dalam bermasyarakat, dalam…banyak hal yang menjadi muwashofat kader menuju profil idaman 2009.

Ustadz yang disayangi Allah…Kedepan, kita pasti membutuhkan energi lebih besar untuk memikul beban dakwah yang berat ini. Kesolidan tandzim dan kekuatan maknawiyah kader sudah menjadi keharusan. Selain itu Ustadz, kebijakan, sifat kebapak-an dan qudwah dari para asatidz, murobi dan pengambil keputusan di level atas agar tetap terjaga. Termasuk kearifan memberlakukan iqob bagi para kader yang melanggar. Tentu saja iqob itu perlu diberlakukan, sebagai bagian proses tarbiyah itu sendiri. Tapi kesalahan juga adalah sifat manusiawi khan ustadz?Artinya bisa menimpa siapa saja. Termasuk para kader bahkan kader inti sekalipun. Sungguh, nasihat2 sejuk dari ustadz sangat mempengaruhi kader2 yang khilaf, lupa, bersalah atau bahkan memusuhi. Semoga dengan begitu, mereka akan kembali ke habitat tarbiyah yang berkah ini.

Ustadz…, semoga ini bisa mengurangi kerinduan ana. Semoga Allah selalu memberikan kesehatan dan kekuatan untuk Ustadz dan para asatidzyang lain dalam menjaga dakwah negri ini. Sehingga tidak ada yang tegak kecuali kalimat al-Haq, tidak ada yang tinggi kecuali panji Ilahi, dan tidak ada yang menang kecualai para pendukung kebenaran. Hingga tidak ada lagi fitnah, dan Ad-din ini hanya bagi Allah saja. Hingga terwujudlah keadilan dan kesejahteraan di bumi pertiwi ini. Aamin ya mujibas saili.

dipetik dari www.faridul.blogspot.com